Salsabila Astianurri: POLA INVESTASI PADA KOPERASI

Jumat, 22 November 2019

POLA INVESTASI PADA KOPERASI

POLA INVESTASI PADA KOPERASI

Diberitakan sebuah koperasi gagal membayar kewajibannya terhadap nasabah. Disebutkan koperasi itu telah menghimpun dana lebih dari Rp 500 miliar dengan nilai penempatan per nasabah Rp 385.000-Rp 14 juta dengan janji memberikan imbal hasil Rp 75.000-Rp 1,4 juta per bulan. Atau, kalau dirata-rata, itu berarti sekitar 10 persen per bulan. Luar biasa. Namun, koperasi yang didirikan pada April 2011 itu dikabarkan mulai tersendat dalam membayarkan imbal hasilā€”disebut bonus dalam terminologi merekaā€”sejak Januari 2012. Dan, pada Februari 2012, disampaikan pengumuman, bonus tidak dibayarkan sampai jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Dari sudut pandang investasi, banyak hal bisa dicermati dari fenomena tersebut. Pertama, bagaimana mungkin sebuah koperasi bisa memberikan imbal hasil 10 persen per bulan terhadap mereka yang menempatkan dananya? Logikanya, mesti ada underlying business yang bisa memberikan keuntungan demikian dahsyat, yakni 10 persen per bulan atau 120 persen per tahun. Lalu, bisnis apa yang dilakukan koperasi tersebut? Tidak jelas. Dalam praktiknya, imbal hasil yang bisa memberikan keuntungan tinggi adalah jual-beli saham. Jika bernasib baik, keuntungan atau gain yang diperoleh bisa puluhan persen. Namun jika apes, kerugian juga bisa sangat besar. Namun, merujuk pada fakta, Indeks Harga Saham Gabungan tahun 2011 hanya tumbuh sekitar 3 persen. Itu pun setahun. Jadi, tahun 2011, saham bukan investasi yang menjanjikan. Lalu, bagaimana dengan bisnis di sektor riil? Rata-rata keuntungan berbisnis di sektor riil adalah 15-20 persen per tahun. Angka ini didasarkan atas permintaan investor jika mereka menempatkan dana di sebuah private equity atau menanamkan dana langsung ke sektor riil. Lalu, bisnis apa yang bisa menghasilkan pemasukan 10 persen per bulan secara terus-menerus? Untuk kondisi investasi di Indonesia saat ini, rasanya sangat sulit menemukan bisnis yang bisa seperti itu. Dengan kata lain, kalau benar angka imbal hasil yang diberikan adalah 10 persen per bulan, pengelola koperasi tersebut bisa dimasukkan ke golongan investment banker atau pengelola investasi terhebat di dunia. Namun, apakah realitasnya seperti itu? Kenyataannya, lembaga investasi yang berbaju koperasi itu, seperti diberitakan, sejak berdiri pada April 2011, hanya bisa membayar secara penuh sampai Januari 2012 atau sekitar delapan bulan. Sejak Februari, pembayaran imbal hasil sudah berhenti. Apa yang terjadi? Sekali lagi, tidak ada yang tahu kecuali pengelola koperasi tersebut. Hasil tinggi, risiko tinggi Kedua, dalam prinsip investasi, dikenal high risk high return. Imbal hasil tinggi hanya bisa diperoleh jika investor berani menanggung risiko tinggi pula. Jadi, kalau ada lembaga investasi berani menawarkan imbal hasil supertinggi, berarti risiko di balik itu juga supertinggi. Atau, dalam bahasa lain, jika ada lembaga investasi berani menjanjikan keuntungan di atas rata-rata pasar atau di luar kelaziman, pasti ada yang perlu dicermati lebih jauh. Pasti ada keanehan dalam pola investasinya, kalau tidak mau disebut memiliki ā€keajaibanā€. Kenapa? Ini karena investasi adalah konsep kapitalis. Kalau ada keuntungan besar, pemilik ide pasti akan melakukannya untuk diri sendiri. Dalam kasus di atas, jika benar keuntungan mencapai 10 persen per bulan, semestinya pemilik ide meminjam saja dari bank. Dengan tingkat bunga 12-15 persen per tahun, pemilik ide bisa menginvestasikan kredit tersebut dengan keuntungan 120 persen per tahun. Kenapa tidak melakukan hal seperti itu? Jelas ada sesuatu di balik kegiatan pengumpulan dana masyarakat tersebut. Dengan kata lain, potensi imbal hasil 120 persen per tahun boleh jadi tidak pernah ada. Apa maksudnya? Sederhana saja. Jika ada lembaga yang menawarkan imbal hasil investasi di luar kelaziman dan lembaga tersebut tidak transparan dalam model investasinya, termasuk ke mana dana tersebut ā€diputarā€, bukan tidak mungkin yang terjadi sebenarnya hanyalah money game. Artinya, uang pemilik dana yang satu dipakai untuk membayar pemilik dana yang sudah menjadi anggota sebelumnya. Jadi, tidak ada investasi. Yang ada adalah semacam ā€arisanā€ dengan pola keanggotaan. Dengan kata lain, dana anggota yang masuk belakangan dipakai untuk membayar anggota yang masuk lebih dulu. Investasi ā€etalaseā€ Kita tidak tahu apa yang terjadi pada koperasi dalam kasus di atas. Namun, investasi yang benar semestinya memenuhi beberapa kaidah, seperti imbal hasil yang diberikan memang masuk akal dengan kondisi perekonomian tempat investasi itu dilakukan. Lalu, ada kejelasan bagaimana pola investasi dilakukan. Kemudian, pengelola dana investasi itu memiliki latar belakang yang relevan dan bisa dideteksi rekam jejaknya. Selain itu, lembaga investasi semestinya juga memenuhi ketentuan yang berlaku. Jika bergerak di sektor keuangan, dalam hal ini mengumpulkan dana masyarakat untuk berinvestasi, tentu harus ada izin dari otoritas keuangan. Ringkasnya, investasi merupakan tindakan untuk memproduktifkan dana. Namun, ada kaidah-kaidah yang mesti dipenuhi, termasuk transparansi pengelolaannya, logika investasi dan kewajaran imbal hasil yang diberikan, serta kredibilitas para pengurusnya, termasuk izin yang dimiliki lembaga tersebut. Jika kaidah dasar seperti itu tidak bisa dipenuhi, calon investor harus curiga dan perlu mempertimbangkan rencana menempatkan dana di sebuah lembaga yang mengaku bergerak di bidang investasi.

Karena, Koperasi sebagai badan usaha adalah sebuah lembaga dinamis yang perlu mengembangkan lembaganya dan memperbesar usahanya. Untuk memperbesar usahanya tersebut koperasi memerlukan modal, baik yang berasal dari internal koperasi maupun yang berasal dari eksternal koperasi. Ketika modal sendiri yang berasal dari anggota tidak mencukupi, maka koperasi harus mencari modal dari luar koperasi. Dengan kata lain, koperasi memerlukan investasi dari luar.

Model Kelembagaan Untuk Berinvestasi  Pada Koperasi
Investasi pada koperasi memberikan konsekuensi kelembagaan pada koperasi, baik pada bentuk kelembagaannya maupun pada sistem operasional dan prosedurnya. Setidaknya ada tiga bentuk kelembagaan sebagai konsekuensi adanya investasi pada koperasi, yaitu: investasi langsung pada kegiatan usaha koperasi, investasi pada unit usaha otonom koperasi, dan investasi pada perseroan milik koperasi.
Investasi langsung pada kegiatan usaha koperasi biasanya dilakukan untuk menambah modal pada satu kegiatan usaha koperasi yang sedang berkembang. Model kelembagaan pada pelaksanaan investasi seperti ini menimbulkan konsekuensi yang paling kompleks karena dua hal; hak suara dan hak keuntungan. Investasi pada model ini tidak mempunyai hak suara (nonvoting stock), karena hanya anggota yang mempunyai hak suara. Oleh karena itu investor tidak mempunyai hak untuk pengelolaan dan pengawasan, yang berakibat pada lemahnya akses untuk penentuan hak keuntungan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut hal hal yang menjadi sumber wanpretasi biasanya dinegosiasikan sejak awal dan dituangkan dalam surat perjanjian investasi. Mengingat kompleksitasnya, biasanya koperasi menawarkan model investasi dengan tingkat pendapatan tetap, baik berupa nilai nominal maupun berupa prosentase tertentu dari keuntungan.
Investasi pada unit usaha otonom koperasi lebih mudah dan fleksibel lagi. Pada model ini pengelolaan dan administrasi dilakukan sendiri secara otonom oleh unit usaha koperasi, sehingga investor lebih mudah untuk mengikuti perkembangannya. Namun demikian investor tetap tidak bisa ikut dalam pengelolaan dan pengawasan, karena dua kegiatan tersebut dilakukan oleh dan atas nama koperasi. Investor dapat mengikuti perkembangannya melalui sistem pelaporan. Oleh karena itu sistem pelaporan operasional menjadi hal penting yang harus masuk dalam perjanjian.
Model ketiga adalah investasi pada badan usaha atau perseroan milik koperasi. Karena investasi dilakukan ke perseroan, yang berlaku adalah peraturan dan undang undang perseroan. Pada model ini, jika investasi dilakukan dalam bentuk penyertaan modal, maka kepemilikan, pengelolaan dan pengawasan dilakukan bersama antara koperasi dan investor secara proporsional sesuai dengan besarnya investasi yang disertakan. Beda halnya jika investasi yang dilakukan dalam bentuk modal penyertaan, dimana kerjasama investasi dituangkan dalam bentuk perjanjian investasi antara koperasi dan investor. Model pertama dan kedua biasanya hanya diminati oleh anggota koperasi, sedangkan pada model ketiga lebih bisa menarik investor non anggota, baik perseorangan maupun badan usaha. Sayangnya, Ketiga model kelembagaan untuk berinvestasi di koperasi ini belumlah banyak dipahami oleh masyarakat. Hal ini akan berdampak buruk jika ada yang memanfaatkan koperasi untuk memobilisasi modal dari masyarakat. Beberapa kasus yang terjadi tergolong cukup besar karena telah berhasil menggalang dana trilyunan rupiah, seperti kasus koperasi Langit Biru dan Koperasi Cipaganti.

Kasus Koperasi Langit Biru dan KoperasiCipaganti
Keberhasilan berinvestasi ke koperasi tidaklah seberapa mencuat dibandingkan pengalaman buruk berinvestasi ke koperasi, yang telah menjadi lebaran hitam yang lebih meluruhkan citra koperasi. Kasus di dua koperasi tersebut terjadi diawali oleh hal yang sama; koperasi memobilisasi modal dari masyarakat dengan imbalan keuntungan tetap kepada investor, yaitu keuntungan bunga yang melebihi tingkat pasar, bahkan tingkat keuntungan koperasi sendiri. Investor menjadi tertarik tanpa memahami jika investasi tersebut seharusnya menanggung risiko. Ketika keuntungan usaha tidak mencukupi untuk membayar kewajiban koperasi kepada investor, saat itulah mulai terjadi gejolak. Untuk itu perlu dikaji perjanjian usaha antara investor dan koperasi, karena untung rugi dalam berusaha adalah biasa, dan jika terjadi kerugian investor pun harus mafhum jika mereka harus menanggung kerugian tersebut.
Bagaimana ini bisa terjadi? Jika koperasi memberikan keuntungan dengan tingkat bunga tetap, seharusnya investasi diperlakukan sebagai penjualan surat berharga biasa. Namun pola ini mungkin menjadi tidak menarik bagi masyarakat luas. Oleh karena itu, mereka menggunakan peluang yang ada di koperasi, yaitu melalui skim modal penyertaan. Skim ini unik karena tidak mencakup kepemilikan dan hanya diatur dengan surat perjanjian, beda dengan penyertaan modal yang berdampak kepada kepemilikan badan usaha. Sayangnya PP 33 tahun 1998 tentang Modal Penyertaan pada Koperasi belum dieksplorasikan secara maksimal untuk memupuk permodalan koperasi secara baik dan benar, terutama yang menyangkut operasional koperasi terhadap masyarakat diluar koperasi.
Penutup
Untuk mengembangkan usahanya koperasi seharusnya tidak hanya bertumpu pada modal sendiri yang umumnya terbatas. Sebagaimana kita ketahui, modal sendiri koperasi umumnya hanya berasal dari simpanan anggota dan keuntungan usaha, biasanya sangat terbatas untuk digunakan mengembangkan usaha secara cepat. Mengundang investasi pada koperasi merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan oleh koperasi untuk mengatasi permasalahan permodalannya yang terbatas. Beberapa hal menjadi sangat penting bagi investor untuk menjadi bahan pertimbangan sebelum menanamkan modalnya pada suatu usaha koperasi, misalnya kepastian usaha, transparansi pelaporan, pembagian keuntungan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu koperasi harus selalu berinovasi untuk lebih menarik investasi, dengan tanpa meninggalkan jati dirinya dan tetap memegang teguh prinsip prinsip dasar yang menjadi pedoman bagi koperasi dalam melaksanakan kegiatannya.



Referensi :
https://regional.kompas.com/read/2012/03/04/03121653/Investasi.ala.Koperasi?page=all.
https://kospinanugrah.co.id/2019/06/13/investasi-pada-koperasi-%EF%BB%BF/

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda