POLA INVESTASI PADA KOPERASI
POLA INVESTASI PADA KOPERASI
Diberitakan
sebuah koperasi gagal membayar kewajibannya terhadap nasabah. Disebutkan
koperasi itu telah menghimpun dana lebih dari Rp 500 miliar dengan nilai
penempatan per nasabah Rp 385.000-Rp 14 juta dengan janji memberikan imbal
hasil Rp 75.000-Rp 1,4 juta per bulan. Atau, kalau dirata-rata, itu berarti
sekitar 10 persen per bulan. Luar biasa. Namun, koperasi yang didirikan pada
April 2011 itu dikabarkan mulai tersendat dalam membayarkan imbal hasilādisebut
bonus dalam terminologi merekaāsejak Januari 2012. Dan, pada Februari 2012,
disampaikan pengumuman, bonus tidak dibayarkan sampai jangka waktu yang tidak
bisa ditentukan. Dari sudut pandang investasi, banyak hal bisa dicermati dari
fenomena tersebut. Pertama, bagaimana mungkin sebuah koperasi bisa memberikan
imbal hasil 10 persen per bulan terhadap mereka yang menempatkan dananya?
Logikanya, mesti ada underlying business yang bisa memberikan keuntungan
demikian dahsyat, yakni 10 persen per bulan atau 120 persen per tahun. Lalu,
bisnis apa yang dilakukan koperasi tersebut? Tidak jelas. Dalam praktiknya,
imbal hasil yang bisa memberikan keuntungan tinggi adalah jual-beli saham. Jika
bernasib baik, keuntungan atau gain yang diperoleh bisa puluhan persen. Namun
jika apes, kerugian juga bisa sangat besar. Namun, merujuk pada fakta, Indeks
Harga Saham Gabungan tahun 2011 hanya tumbuh sekitar 3 persen. Itu pun setahun.
Jadi, tahun 2011, saham bukan investasi yang menjanjikan. Lalu, bagaimana
dengan bisnis di sektor riil? Rata-rata keuntungan berbisnis di sektor riil
adalah 15-20 persen per tahun. Angka ini didasarkan atas permintaan investor
jika mereka menempatkan dana di sebuah private equity atau menanamkan dana
langsung ke sektor riil. Lalu, bisnis apa yang bisa menghasilkan pemasukan 10
persen per bulan secara terus-menerus? Untuk kondisi investasi di Indonesia
saat ini, rasanya sangat sulit menemukan bisnis yang bisa seperti itu. Dengan
kata lain, kalau benar angka imbal hasil yang diberikan adalah 10 persen per
bulan, pengelola koperasi tersebut bisa dimasukkan ke golongan investment
banker atau pengelola investasi terhebat di dunia. Namun, apakah realitasnya
seperti itu? Kenyataannya, lembaga investasi yang berbaju koperasi itu, seperti
diberitakan, sejak berdiri pada April 2011, hanya bisa membayar secara penuh
sampai Januari 2012 atau sekitar delapan bulan. Sejak Februari, pembayaran
imbal hasil sudah berhenti. Apa yang terjadi? Sekali lagi, tidak ada yang tahu
kecuali pengelola koperasi tersebut. Hasil tinggi, risiko tinggi Kedua, dalam
prinsip investasi, dikenal high risk high return. Imbal hasil tinggi hanya bisa
diperoleh jika investor berani menanggung risiko tinggi pula. Jadi, kalau ada
lembaga investasi berani menawarkan imbal hasil supertinggi, berarti risiko di
balik itu juga supertinggi. Atau, dalam bahasa lain, jika ada lembaga investasi
berani menjanjikan keuntungan di atas rata-rata pasar atau di luar kelaziman,
pasti ada yang perlu dicermati lebih jauh. Pasti ada keanehan dalam pola
investasinya, kalau tidak mau disebut memiliki ākeajaibanā. Kenapa? Ini karena
investasi adalah konsep kapitalis. Kalau ada keuntungan besar, pemilik ide
pasti akan melakukannya untuk diri sendiri. Dalam kasus di atas, jika benar
keuntungan mencapai 10 persen per bulan, semestinya pemilik ide meminjam saja
dari bank. Dengan tingkat bunga 12-15 persen per tahun, pemilik ide bisa menginvestasikan
kredit tersebut dengan keuntungan 120 persen per tahun. Kenapa tidak melakukan
hal seperti itu? Jelas ada sesuatu di balik kegiatan pengumpulan dana
masyarakat tersebut. Dengan kata lain, potensi imbal hasil 120 persen per tahun
boleh jadi tidak pernah ada. Apa maksudnya? Sederhana saja. Jika ada lembaga
yang menawarkan imbal hasil investasi di luar kelaziman dan lembaga tersebut
tidak transparan dalam model investasinya, termasuk ke mana dana tersebut
ādiputarā, bukan tidak mungkin yang terjadi sebenarnya hanyalah money game.
Artinya, uang pemilik dana yang satu dipakai untuk membayar pemilik dana yang
sudah menjadi anggota sebelumnya. Jadi, tidak ada investasi. Yang ada adalah
semacam āarisanā dengan pola keanggotaan. Dengan kata lain, dana anggota yang
masuk belakangan dipakai untuk membayar anggota yang masuk lebih dulu.
Investasi āetalaseā Kita tidak tahu apa yang terjadi pada koperasi dalam kasus
di atas. Namun, investasi yang benar semestinya memenuhi beberapa kaidah,
seperti imbal hasil yang diberikan memang masuk akal dengan kondisi
perekonomian tempat investasi itu dilakukan. Lalu, ada kejelasan bagaimana pola
investasi dilakukan. Kemudian, pengelola dana investasi itu memiliki latar
belakang yang relevan dan bisa dideteksi rekam jejaknya. Selain itu, lembaga
investasi semestinya juga memenuhi ketentuan yang berlaku. Jika bergerak di
sektor keuangan, dalam hal ini mengumpulkan dana masyarakat untuk berinvestasi,
tentu harus ada izin dari otoritas keuangan. Ringkasnya, investasi merupakan tindakan
untuk memproduktifkan dana. Namun, ada kaidah-kaidah yang mesti dipenuhi,
termasuk transparansi pengelolaannya, logika investasi dan kewajaran imbal
hasil yang diberikan, serta kredibilitas para pengurusnya, termasuk izin yang
dimiliki lembaga tersebut. Jika kaidah dasar seperti itu tidak bisa dipenuhi,
calon investor harus curiga dan perlu mempertimbangkan rencana menempatkan dana
di sebuah lembaga yang mengaku bergerak di bidang investasi.
Karena,
Koperasi sebagai badan usaha adalah sebuah lembaga dinamis yang perlu
mengembangkan lembaganya dan memperbesar usahanya. Untuk memperbesar usahanya
tersebut koperasi memerlukan modal, baik yang berasal dari internal koperasi
maupun yang berasal dari eksternal koperasi. Ketika modal sendiri yang berasal
dari anggota tidak mencukupi, maka koperasi harus mencari modal dari luar
koperasi. Dengan kata lain, koperasi memerlukan investasi dari luar.
Model
Kelembagaan Untuk Berinvestasi Pada Koperasi
Investasi
pada koperasi memberikan konsekuensi kelembagaan pada koperasi, baik pada
bentuk kelembagaannya maupun pada sistem operasional dan prosedurnya.
Setidaknya ada tiga bentuk kelembagaan sebagai konsekuensi adanya investasi
pada koperasi, yaitu: investasi langsung pada kegiatan usaha koperasi,
investasi pada unit usaha otonom koperasi, dan investasi pada perseroan milik
koperasi.
Investasi langsung
pada kegiatan usaha koperasi biasanya dilakukan untuk menambah modal pada
satu kegiatan usaha koperasi yang sedang berkembang. Model kelembagaan pada
pelaksanaan investasi seperti ini menimbulkan konsekuensi yang
paling kompleks karena dua hal; hak suara dan hak keuntungan.
Investasi pada model ini tidak mempunyai hak suara (nonvoting stock),
karena hanya anggota yang mempunyai hak suara. Oleh karena itu investor
tidak mempunyai hak untuk pengelolaan dan pengawasan, yang berakibat pada
lemahnya akses untuk penentuan hak keuntungan. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut hal hal yang menjadi sumber wanpretasi
biasanya dinegosiasikan sejak awal dan dituangkan dalam surat perjanjian
investasi. Mengingat kompleksitasnya, biasanya koperasi menawarkan
model investasi dengan tingkat pendapatan tetap, baik berupa nilai nominal
maupun berupa prosentase tertentu dari keuntungan.
Investasi pada
unit usaha otonom koperasi lebih mudah dan fleksibel lagi. Pada model
ini pengelolaan dan administrasi dilakukan sendiri secara otonom oleh unit
usaha koperasi, sehingga investor lebih mudah untuk mengikuti
perkembangannya. Namun demikian investor tetap tidak bisa ikut dalam
pengelolaan dan pengawasan, karena dua kegiatan tersebut dilakukan
oleh dan atas nama koperasi. Investor dapat mengikuti perkembangannya
melalui sistem pelaporan. Oleh karena itu sistem pelaporan operasional
menjadi hal penting yang harus masuk dalam perjanjian.
Model ketiga
adalah investasi pada badan usaha atau perseroan milik koperasi. Karena
investasi dilakukan ke perseroan, yang berlaku adalah peraturan dan
undang undang perseroan. Pada model ini, jika investasi dilakukan dalam
bentuk penyertaan modal, maka kepemilikan, pengelolaan
dan pengawasan dilakukan bersama antara koperasi dan investor secara
proporsional sesuai dengan besarnya investasi yang disertakan. Beda
halnya jika investasi yang dilakukan dalam bentuk modal penyertaan,
dimana kerjasama investasi dituangkan dalam bentuk perjanjian investasi
antara koperasi dan investor. Model pertama dan kedua biasanya hanya
diminati oleh anggota koperasi, sedangkan pada model ketiga lebih bisa
menarik investor non anggota, baik perseorangan maupun badan usaha.
Sayangnya, Ketiga model kelembagaan untuk berinvestasi di koperasi ini
belumlah banyak dipahami oleh masyarakat. Hal ini akan berdampak buruk
jika ada yang memanfaatkan koperasi untuk memobilisasi modal dari
masyarakat. Beberapa kasus yang terjadi tergolong cukup besar karena telah
berhasil menggalang dana trilyunan rupiah, seperti kasus koperasi Langit
Biru dan Koperasi Cipaganti.
Kasus
Koperasi Langit Biru dan KoperasiCipaganti
Keberhasilan
berinvestasi ke koperasi tidaklah seberapa mencuat dibandingkan pengalaman
buruk berinvestasi ke koperasi, yang telah menjadi lebaran hitam yang lebih
meluruhkan citra koperasi. Kasus di dua koperasi tersebut terjadi diawali oleh
hal yang sama; koperasi memobilisasi modal dari masyarakat dengan imbalan
keuntungan tetap kepada investor, yaitu keuntungan bunga yang melebihi tingkat
pasar, bahkan tingkat keuntungan koperasi sendiri. Investor menjadi tertarik
tanpa memahami jika investasi tersebut seharusnya menanggung
risiko. Ketika keuntungan usaha tidak mencukupi untuk membayar kewajiban
koperasi kepada investor, saat itulah mulai terjadi gejolak. Untuk itu perlu
dikaji perjanjian usaha antara investor dan koperasi, karena untung rugi dalam
berusaha adalah biasa, dan jika terjadi kerugian investor pun harus mafhum jika
mereka harus menanggung kerugian tersebut.
Bagaimana
ini bisa terjadi? Jika koperasi memberikan keuntungan dengan tingkat bunga
tetap, seharusnya investasi diperlakukan sebagai penjualan surat
berharga biasa. Namun pola ini mungkin menjadi tidak menarik
bagi masyarakat luas. Oleh karena itu, mereka menggunakan peluang yang ada
di koperasi, yaitu melalui skim modal penyertaan. Skim
ini unik karena tidak mencakup kepemilikan dan hanya diatur dengan surat
perjanjian, beda dengan penyertaan modal yang
berdampak kepada kepemilikan badan usaha. Sayangnya PP 33 tahun 1998
tentang Modal Penyertaan pada Koperasi belum dieksplorasikan secara
maksimal untuk memupuk permodalan koperasi secara baik dan benar, terutama
yang menyangkut operasional koperasi terhadap masyarakat diluar koperasi.
Penutup
Untuk
mengembangkan usahanya koperasi seharusnya tidak hanya bertumpu pada modal
sendiri yang umumnya terbatas. Sebagaimana kita ketahui, modal sendiri koperasi
umumnya hanya berasal dari simpanan anggota dan keuntungan usaha, biasanya
sangat terbatas untuk digunakan mengembangkan usaha secara cepat.
Mengundang investasi pada koperasi merupakan salah satu opsi yang
dapat dilakukan oleh koperasi untuk mengatasi permasalahan permodalannya
yang terbatas. Beberapa hal menjadi sangat penting bagi
investor untuk menjadi bahan pertimbangan sebelum menanamkan modalnya pada
suatu usaha koperasi, misalnya kepastian usaha, transparansi pelaporan,
pembagian keuntungan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu koperasi harus
selalu berinovasi untuk lebih menarik investasi, dengan tanpa meninggalkan
jati dirinya dan tetap memegang teguh prinsip prinsip dasar yang
menjadi pedoman bagi koperasi dalam melaksanakan kegiatannya.
Referensi :
https://regional.kompas.com/read/2012/03/04/03121653/Investasi.ala.Koperasi?page=all.
https://kospinanugrah.co.id/2019/06/13/investasi-pada-koperasi-%EF%BB%BF/
Label: EKONOMI KOPERASI
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda