PERJANJIAN KERJA YANG TIDAK SESUAI ANTARA PT. INDAH BERKAH BERSAUDARA DENGAN PARA KARYAWAN
ABSTRAK
Tujuan penulisan
ini dibuat untuk memberikan informasi mengenai analisis dari kasus hukum
mengenai pelanggaran perjanjian / kontrak kerja. Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja
menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah
perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Dalam penulisan ini saya
menggunakan penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan bentuk pendekatan peraturan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach) dengan pengumpulan data berupa studi kasus. Sumber informasi
yang saya gunakan berasal dari website - website resmi, serta berasal dari mata
kuliah Aspek Hukum Dalam Ekonomi yang digunakan sebagai media dan acuan dalam
melakukan analisis Pelanggaran Kontrak Kerja. Hasil dari penelitian ini adalah Adanya ketidak-cocokan antara data yang dilaporkan pihak
Perusahaan, dengan slip gaji yang diterima oleh rekan-rekan tenaga kerja. Ketidak
sesuaian data dan slip gaji tersebut, timbul karena ketidak-jelasan perhitungan
upah yang diberikan kepada Pekerja. Besaran kerugian yang diderita Pekerja PT.
Indah Berkah Bersaudara hingga mencapai Rp1,4 miliar. Para karyawan yang juga sudah
menyelesaikan masa percobaan selama tiga bulan. Artinya dalam undang-undang
telah berbunyi ketika buruh atau karyawan yang telah melakukan masa percobaan
selama tiga bulan, maka harus dijadikan karyawan tetap. Perusahaan seharusnya
menetapkan karyawan tersebut menjadi pekerja tetap, bukan memperjanjikan
pekerja yang telah melalui masa percobaan menjadi pekerja kontrak. Selain itu, Perusahaan
belum mempunyai itikad baik dalam menyelesaikan kasus pengakhiran hubungan
kerja.
Kata kunci : Pelanggaran Perjanjian / Kontrak Kerja; Pelanggaran Upah; Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu; Perselisihan
Hubungan Industrial.
PENDAHULUAN
Bahwa yang sudah kita ketahui dari
kontrak kerja/perjanjian kontrak kerja itu sendiri ialah sesuatu perjanjian
antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan/atau tulisan,baik untuk waktu
tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang membuat syarat-syarat kerja,
hak dan kewajiban pekerja dan pengusahaan.
1.1
Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja merupakan salah
satu jenis perjanjian yang ada, dengan demikian pada dasarnya untuk menyatakan
suatu perjanjian kerja tersebut dikatakan sah atau tidak maka wajib untuk
memperhatikan ketentuan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) yang menyatakan bahwa :
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi
empat syarat;
1.
kesepakatan
mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
kecakapan
untuk membuat suatu perikatan;
3.
suatu pokok
persoalan tertentu;
4.
suatu sebab
yang tidak terlarang.â
Pasal 52 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (âUU 13/2003â) menegaskan bahwa :
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
1.
kesepakatan
kedua belah pihak;
2.
kemampuan atau
kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3.
adanya pekerjaan
yang diperjanjikan; dan
4.
pekerjaan yang
diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
Akan tetapi, apabila dalam suatu perjanjian kerja
tidak memenuhi unsur dalam poin (1) dan (2), maka terhadap perjanjian kerja
tersebut dapat dibatalkan, dan jika perjanjian kerja tersebut tidak memenuhi
unsur dalam poin (3) dan (4) maka terhadap perjanjian kerja tersebut batal demi
hukum. Perjanjian kerja sah apabila telah memenuhi syarat dalam ketentuan
tersebut di atas.
Pasal 1 angka 15 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
mengatur bahwa :
âHubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan
perintah.â
Jelaslah bahwa hubungan kerja (perjanjian kerja) di
antara pengusaha dengan pekerja/buruh wajib memenuhi unsur-unsur adanya suatu
pekerjaan, upah dan perintah. Perjanjian kerja yang dibuat namun tidak rangkap
bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 54 ayat (3) UU 13/2003 yang
menegaskan bahwa :
âPerjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang
sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing masing mendapat 1 (satu)
perjanjian kerja.â Undang-undang menegaskan bahwa Saudara maupun Atasan Saudara
berhak untuk mendapatkan masing-masing 1 (satu) perjanjian kerja.
Lebih lanjut, Undang-undang
menyebutkan hal-hal yang yang perlu tercantum dalam suatu perjanjian kerja
sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (1) UU 13/2003 yang menegaskan bahwa:
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis
sekurang kurangnya memuat :
a.
nama, alamat
perusahaan, dan jenis usaha;
b.
nama, jenis
kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c.
jabatan atau
jenis pekerjaan;
d.
tempat
pekerjaan;
e.
besarnya upah
dan cara pembayarannya;
f.
syarat syarat
kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g.
mulai dan
jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h.
tempat dan
tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i.
tanda tangan
para pihak dalam perjanjian kerja.
Undang-Undang
tidak tegas mengatur akibat dari perjanjian kerja yang tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 54 ayat (1) di atas, namun demikian apabila besaran upah maupun
mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja tidak diatur dalam
perjanjian kerja Saudara, tentunya akan amat memberatkan untuk dapat
membuktikan dan mempertahankan hak-hak Saudara sebagai pekerja/buruh jika di
kemudian hari terjadi permasalahan dalam bidang hubungan industrial dengan
Atasan Saudara.
Dalam
perjanjian kerja, layaknya perjanjian pada umumnya, sahnya suatu perjanjian
tidak ditentukan dari kehadiran Notaris, tapi oleh terpenuhinya ketentuan Pasal
1320 KUH Perdata maupun Pasal 52 ayat (1) UU 13/2003 terpenuhi oleh pengusaha
maupun pekerja/buruh.
Perlu kami
sampaikan sekalipun Saudara bekerja di perusahaan perseorangan, namun tetap
saja perusahaan tersebut wajib mentaati peraturan ketenagakerjaan yang berlaku,
sesuai dengan ketentuan dalam Ketentuan Umum UU 13/2003 yang menegaskan bahwa:
Perusahaan adalah :
a.
setiap bentuk
usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain;
b.
usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang
lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
1.2
Syarat Sahnya
Perjanjian/Kontrak Menurut Pasal 1320 KUH Perdata
Syarat
sahnya kontrak dapat dikaji berdasarkan hukum kontrak yang terdapat didalam KUH
Perdata dan hukum kontrak yang ada di Amerika. Untuk mengetahui apakah suatu
perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka perjanjian tersebut harus diuji
dengan beberapa syarat. Terdapat 4 syarat keabsahan kontrak yang diatur dalam
pasal 1320 KUH Perdata, yang merupakan syarat pada umumnya, sebagai berikut
- Syarat sah yang subyekif
berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
Disebut
dengan syarat subyektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian. Konsekuensi apabila
tidak terpenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini adalah bahwa kontrak
tersebut dapat âdapat dibatalkanâ atau âdimintakan batalâ oleh salah satu pihak
yang berkepentingan. Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak dilakukan, maka
kontrak tetap terjadi dan harus dilaksanakan seperti suatu kontrak yang sah.
1. Adanya
kesepakatan kehendak (Consensus, Agreement)
Dengan
syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap saah oleh
hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur
oleh kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan
kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai berikut.
a) Paksaan
(dwang, duress)
b) Penipuan
(bedrog, fraud)
c) Kesilapan
(dwaling, mistake)
Sebagaimana pada
pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila
diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
2. Wenang / Kecakapan berbuat
menurut hukum (Capacity)
Syarat
wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah
orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Sebagaimana
pada pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk
membuat perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap.
Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita
temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata, yaitu :
a) Orang-orang
yang belum dewasa
b) Mereka
yang berada dibawah pengampuan
c) Wanita
yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-Undang No.1 tahun
1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang ini menentukan bahwa hak
dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.
- Syarat sah yang objektif berdasarkan
pasal 1320 KUH Perdata
Disebut
dengan syarat objektif karena berkenaan dengan obyek perjanjian. Konsekuensi
hukum apabila tidak terpenuhinya salah satu objektif akibatnya adalah kontrak
yang dibuat batal demi hukum. Jadi sejak kontrak tersebut dibuat kontrak
tersebut telah batal.
3. Obyek
/ Perihal tertentu
Dengan
syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan
dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai hal ini
dapat kita temukan dalam pasal 1332 ddan1333 KUH Perdata.
Pasal
1332 KUH Perdata menentukan bahwa :
âHanya
barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu
perjanjianâ
Sedangkan
pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa,
âSuatu
perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya
Tidaklah
menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu
terkemudian dapat ditentukan / dihitungâ
4. Kausa
yang diperbolehkan / halal / legal
Maksudnya
adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang sesuai
hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh
undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum
(Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan
bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab
yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum. Atau ada pula
agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi beberapa
persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4 persyaratan yuridis agar suatu kontrak
dianggap sah, sebagai berikut:
1) Syarat sah yang obyektif berdasarkan pasal 1320 KUH
Perdata
a. Objek
/ Perihal tertentu
b. Kausa
yang diperbolehkan / dihalalkan / dilegalkan
2) Syarat sah yang subjektif berdasarkan pasal 1320 KUH
Perdata
a. Adanya
kesepakatan dan kehendak
b. Wenang
berbuat
3) Syarat sah yang umum di luar pasal 1320 KUH Perdata
a. Kontrak
harus dilakukan dengan Iâtikad baik
b. Kontrak
tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
c. Kontrak
harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
d. Kontrak
tidak boleh melanggar kepentingan umum
4) Syarat sah yang khusus
a. Syarat
tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu
b. Syarat
akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu
c. Syarat
akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
d. Syarat
izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu
1.3 Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu
Sebagaimana
menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (âUU Ketenagakerjaanâ), definisi perjanjian kerja
adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
Berdasarkan
Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (âKepmenakertrans 100/2004â), pengertian Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu (âPKWTTâ) adalah perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat
tetap.
PKWTT dapat
dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib mendapatkan
pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara
lisan, maka klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha
dengan pekerja) adalah klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU
Ketenagakerjaan.
PKWTT dapat
mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Selama masa
percobaan pengusaha wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh
lebih rendah dari upah minimum yang berlaku.
Menurut
Pasal 15 Kepmenakertrans 100/2004, PKWT dapat berubah menjadi PKWTT, apabila:
1.
PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan
huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
2.
Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam jenis pekerjaan yang dipersyaratkan, maka PKWT berubah
menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
3.
Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan jangka waktu
perpanjangan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan;
4.
Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak
diperjanjikan lain, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya
syarat PKWT tersebut;
5. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja
terhadap pekerja dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam angka
(1), angka (2), angka (3) dan angka (4), maka hak-hak pekerja dan prosedur
penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan bagi
PKWTT
1.4 Perselisihan
Hubungan Industrial
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang
Penyelesaian Hubungan Industrial (UU PHI), dalam Pasal 1 angka 1 memberikan
definisi perselisihan hubungan industrial sebagai berikut:
Perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan;
Berdasarkan
definisi tersebut diketahui terdapat beberapa jenis perselisihan yang dapat
dikategorikan sebagai suatu perselisihan hubungan industrial. Yang mana
masing-masing dari perselisihan tersebut berdasarkan UU PHI memiliki tahapan
penyelesaian yang berbeda.
Berikut kami sampaikan jenis-jenis perselisihan dalam hubungan industrial :
Berikut kami sampaikan jenis-jenis perselisihan dalam hubungan industrial :
- Perselisihan Hak Merupakan perselisihan yang
timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan
atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama.
- Perselisihan Kepentingan Merupakan perselisihan
yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang diterapkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.
- Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Merupakan
perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
- Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Dalam Satu Perusahaan
Merupakan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain namun terbatas hanya dalam satu perusahaan. Hal tersebut dapat disebabkan karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan pekerjaan.
Pada saat terjadi suatu perselisihan
hubungan industrial (berlaku untuk seluruh jenis perselisihan), langkah awal
yang harus dilakukan yaitu dengan melakukan penyelesaian secara internal
terlebih dahulu. Pertama melalui mekanisme musyawarah yang disebut dengan
bipartit. Bipartit merupakan perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat
pekerja / serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.
Dalam
bipartit tersebut belum ada pihak ketiga yang dilibatkan. Adapun yang dimaksud
pihak ketiga disini yaitu pihak pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan (Dinas
Ketenagakerjaan dan Transmisgrasi). Sehingga pada tahap bipartit ini tidak
menutup kemungkinan baik pihak perusahaan dan/atau karyawan untuk didampingi
kuasa hukum. Yang mana bertujuan membantu negosiasi dan dapat juga sebagai
fasilitator diantara para pihak yang berselisih.
UU PHI telah
menentukan perundingan bipartit harus diselesaikan maksimal dalam waktu 30 hari
kerja sejak perundingan dimulai. Apabila perundingan bipartit mencapai
kesepakatan maka para pihak wajib membuat Perjanjian Bersama dan didaftarkan di
kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial. Namun apabila perundingan bipartit
tersebut gagal mencapai kesepakatan, maka terdapat mekanisme penyelesaian
lanjutan yang dapat dilakukan sebagaimana telah diatur dalam UU PHI.
PEMBAHASAN
Melalui kuasa hukumnya, Andrew Fritz Limahelu, belasan
Pekerja dari PT. Indah Berkah Bersaudara yang merupakan badan usaha dibidang
pengiriman dan logistik JNE Depok, berupaya untuk dapat melakukan musyawarah
terkait dugaan adanya pelanggaran upah dan kontrak kerja yang diberlakukan oleh
Perusahaan.
âAdanya ketidak-cocokan antara data yang dilaporkan pihak
Perusahaan, dengan slip gaji yang diterima oleh rekan-rekan tenaga kerja,â
jelas Fritz, Jumâat (16/11/2019). Ketidak sesuaian data dan slip gaji tersebut,
timbul karena ketidak-jelasan perhitungan upah yang diberikan kepada Pekerja.
Fritz menaksir besaran kerugian yang diderita Pekerja PT. Indah Berkah
Bersaudara hingga mencapai Rp1,4 miliar.
âBahwa kami ini sudah menyelesaikan masa percobaan selama
tiga bulan. Artinya dalam undang-undang telah berbunyi ketika buruh atau
karyawan yang telah melakukan masa percobaan selama tiga bulan, maka harus
dijadikan karyawan tetap,â tegas Gibran yang juga sebagai Ketua Karang Taruna
Baktijaya Kota Depok.
Sehingga menurutnya, Perusahaan seharusnya menetapkan
karyawan tersebut menjadi pekerja tetap, bukan memperjanjikan pekerja yang
telah melalui masa percobaan menjadi pekerja kontrak. Gibran menyebut, tindakan
Perusahaan telah melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Keputusan Menteri
Tenaga Kerja Nomor 100 Tahun 2004 dan Peraturan Daerah Kota Depok.
Ia juga menganggap, Perusahaan belum mempunyai iktikad baik
dalam menyelesaikan kasus pengakhiran hubungan kerja beberapa Pekerja yang
diantaranya merupakan Pengurus Karang Taruna Baktijaya Kota Depok itu. Fritz
akan membawa permasalahan dugaan pelanggaran upah dan kontrak kerja melalui jalur
hukum, apabila PT. Indah Berkah Bersaudara tak kunjung bersedia menyelesaikan
permasalahan tersebut.
ANALISIS KASUS
Menurut saya,
kasus dari PT. Indah Berkah Bersaudara ini telah melanggar perjanjian kerja
menurut Pasal 1 angka 15 UU 13/2003
tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa : âHubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah dan perintah.â. Dan karena didalam perjanjian tersebut
mereka telah membuat kesepakatan kerja, PT. Indah Berkah Bersaudara juga telah
melanggar perjanjian kerja berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (âUU 13/2003â) menegaskan bahwa :
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
1.
kesepakatan
kedua belah pihak;
2.
kemampuan atau
kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3.
adanya pekerjaan
yang diperjanjikan; dan
4.
pekerjaan yang
diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
Karena syarat
sah kontrak dalam suatu perjanjian kerja Terdapat 4 persyaratan
yuridis agar suatu kontrak dianggap sah, sebagai berikut:
1) Syarat sah yang obyektif berdasarkan pasal 1320 KUH
Perdata
c. Objek
/ Perihal tertentu
d. Kausa
yang diperbolehkan / dihalalkan / dilegalkan
2) Syarat sah yang subjektif berdasarkan pasal 1320 KUH
Perdata
c. Adanya
kesepakatan dan kehendak
d. Wenang
berbuat
3) Syarat sah yang umum di luar pasal 1320 KUH Perdata
e. Kontrak
harus dilakukan dengan Iâtikad baik
f. Kontrak
tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
g. Kontrak
harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
h. Kontrak
tidak boleh melanggar kepentingan umum
4) Syarat sah yang khusus
e. Syarat
tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu
f. Syarat
akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu
g. Syarat
akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
h. Syarat
izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu
Dalam kasus disebutkan bahwa, adanya ketidak-cocokan data
dengan slip gaji yang diterima, perlakuan perusahaan terhadap karyawan tersebut
juga tidak mematuhi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Karena pekerja
memiliki hak untuk menerima upah dari Pengusaha atas suatu pekerjaannya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (selanjutnya akan disebut UU Naker), yang menyatakan: âUpah
adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan
dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukanâŚâ
Lalu tidak menjadikan para
karyawan yang sedang dalam masa percobaan menjadi karyawan tetap setelah
lamanya bekerja selama 3 bulan berturut-turut. Hal tersebut juga termasuk
melanggar Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Karena Berdasarkan
Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu adalah
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja yang bersifat tetap. Pekerjanya sering disebut karyawan tetap.
Selain tertulis, PKWTT dapat juga dibuat secara lisan dan tidak wajib
mendapat pengesahan dari intstansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat
secara lisan maka perusahaan wajib membuat surat pengangkatan kerja bagi
karyawan yang bersangkutan. PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan
kerja (probation) untuk paling lama 3 (tiga) bulan, bila ada yang mengatur
lebih dari 3 bulan, maka demi hukum sejak bulan keempat, si pekerja sudah
dinyatakan sebagai pekerja tetap (PKWTT). Selama masa percobaan, Perusahaan
wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari
upah minimum yang berlaku.
Selain itu, dari kasus mereka juga
menyebutkan bahwa, pihak perusahaan belum mempunyai itikad baik atau belum
maksimal dalam menyelesaikan kasus pengakhiran hubungan terhadap para
karyawannya. Ini disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur tentang penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang disebabkan dari:
1.
perbedaan
pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan;
2.
kelalaian atau
ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif
yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian
kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
3.
pengakhiran
hubungan kerja;
4.
perbedaan
pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai
pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan.
Karena dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial mengatur tentang:
1.
penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang terjadi baik di perusahaan swasta maupun
perusahaan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara;
2.
Pihak yang
berperkara adalah pekerja/buruh secara perseorangan maupun organisasi serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha;
3.
Setiap
perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara musyawarah
untuk mufakat oleh para pihak yang berselisih (bipartit);
4.
Dalam hal
perundingan oleh para pihak yang berselisih (bipartit) gagal, maka salah satu
pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat;
5.
Perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dapat diselesaikan melalui konsiliasi atas
kesepakatan kedua belah pihak;
6.
Perselisihan
hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau arbitrase
namun sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui
mediasi;
7.
Dalam hal
mediasi atau konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam
perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial;
8.
Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrase dilakukan berdasarkan
kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan
Industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam
hal-hal tertentu dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung; dan
9.
Pengadilan
Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan umum dan dibentuk pada
Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada Mahkamah Agung.
REFERENSI :
https://spn.or.id/definisi-kontrak-kerja/