Salsabila Astianurri

Kamis, 08 Oktober 2020

TUGAS 2 - Bahasa Inggris Bisnis

BUSINESS EMAIL


Jaeminnana13@gmail.com

The offer for joining with Blood Donors Project

 

Dear, Mr. Nana

Yesterday, I saw your Instagram account, and they're so many pictures of many events for the documentary photos of your customer.

As a good photographer, I would like to invite you to our project of blood donors. I trust to you if these documentary photos will be the best moment for every side. I would appreciate it if you are can join our project. and I hope this project will be the best if we can do the teamwork together.

Thank you for your attention, and I will wait for a good answer from you Mr. Nana

Sincerely,

 

Salsa

Assistant of event Committee 

Blood Donors Project

Kamis, 01 Oktober 2020

TUGAS 1 - Bahasa Inggris Bisnis

APPLICATION LETTER 



Salsabila Astianurri
Jl. Kedasih No. 32 B
Depok 16445
Tel: 0878 8377 6660
E-mail: salsabilaas.elf@gmail.com 
Januari 14th, 2021


Hendra Pratama
Human Resources Specialist
Bintang Toedjoe Ltd
Jl. Jend. Ahmad Yani No. 2
Jakarta Timur


Dear Mr. Hendra:

Based on the advertisement on the jobstreet website, there a job vacancy in your company as an accountant manager.

I am a fresh graduate of Gunadarma University. As an accountant bachelor, I've learned to operate any software accounting such as MYOB and Zahir. I believe the job meets my educational background and thus I found myself qualified for the job.

Besides the basic knowledge I have from my educational background, I also have computer skills and I can communicate in English, both spoken and written.

With all the qualifications I mentioned above, I am confident that I can contribute effectively to your company. Herewith this letter I enclose my:

1. Copy of Bachelor Degree (S-1) Diploma and Academic Transcript.
2. Resume
3. Recent photograph with size of 4×6

I’m looking forward to meeting you soon. 


Sincerely yours,

 

 


Salsabila Astianurri


Selasa, 31 Maret 2020

PERJANJIAN KERJA YANG TIDAK SESUAI ANTARA PT. INDAH BERKAH BERSAUDARA DENGAN PARA KARYAWAN

ABSTRAK
Tujuan penulisan ini dibuat untuk memberikan informasi mengenai analisis dari kasus hukum mengenai pelanggaran perjanjian / kontrak kerja. Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Dalam penulisan ini saya menggunakan penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan bentuk pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan pengumpulan data  berupa studi kasus. Sumber informasi yang saya gunakan berasal dari website - website resmi, serta berasal dari mata kuliah Aspek Hukum Dalam Ekonomi yang digunakan sebagai media dan acuan dalam melakukan analisis Pelanggaran Kontrak Kerja. Hasil dari penelitian ini adalah Adanya ketidak-cocokan antara data yang dilaporkan pihak Perusahaan, dengan slip gaji yang diterima oleh rekan-rekan tenaga kerja. Ketidak sesuaian data dan slip gaji tersebut, timbul karena ketidak-jelasan perhitungan upah yang diberikan kepada Pekerja. Besaran kerugian yang diderita Pekerja PT. Indah Berkah Bersaudara hingga mencapai Rp1,4 miliar. Para karyawan yang juga sudah menyelesaikan masa percobaan selama tiga bulan. Artinya dalam undang-undang telah berbunyi ketika buruh atau karyawan yang telah melakukan masa percobaan selama tiga bulan, maka harus dijadikan karyawan tetap. Perusahaan seharusnya menetapkan karyawan tersebut menjadi pekerja tetap, bukan memperjanjikan pekerja yang telah melalui masa percobaan menjadi pekerja kontrak. Selain itu, Perusahaan belum mempunyai itikad baik dalam menyelesaikan kasus pengakhiran hubungan kerja.
Kata kunci : Pelanggaran Perjanjian / Kontrak Kerja; Pelanggaran Upah; Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu; Perselisihan Hubungan Industrial.


PENDAHULUAN
            Bahwa yang sudah kita ketahui dari kontrak kerja/perjanjian kontrak kerja itu sendiri ialah sesuatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan/atau tulisan,baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang membuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja dan pengusahaan.
1.1 Perjanjian Kerja
            Perjanjian kerja merupakan salah satu jenis perjanjian yang ada, dengan demikian pada dasarnya untuk menyatakan suatu perjanjian kerja tersebut dikatakan sah atau tidak maka wajib untuk memperhatikan ketentuan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa :
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1.      kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2.      kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.      suatu pokok persoalan tertentu;
4.      suatu sebab yang tidak terlarang.”
Pasal 52 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”) menegaskan bahwa :
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
1.      kesepakatan kedua belah pihak;
2.      kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3.      adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
4.      pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Akan tetapi, apabila dalam suatu perjanjian kerja tidak memenuhi unsur dalam poin (1) dan (2), maka terhadap perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan, dan jika perjanjian kerja tersebut tidak memenuhi unsur dalam poin (3) dan (4) maka terhadap perjanjian kerja tersebut batal demi hukum. Perjanjian kerja sah apabila telah memenuhi syarat dalam ketentuan tersebut di atas.
Pasal 1 angka 15 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa :
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.”

Jelaslah bahwa hubungan kerja (perjanjian kerja) di antara pengusaha dengan pekerja/buruh wajib memenuhi unsur-unsur adanya suatu pekerjaan, upah dan perintah. Perjanjian kerja yang dibuat namun tidak rangkap bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 54 ayat (3) UU 13/2003 yang menegaskan bahwa :
“Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.” Undang-undang menegaskan bahwa Saudara maupun Atasan Saudara berhak untuk mendapatkan masing-masing 1 (satu) perjanjian kerja.
      Lebih lanjut, Undang-undang menyebutkan hal-hal yang yang perlu tercantum dalam suatu perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (1) UU 13/2003 yang menegaskan bahwa:
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :
a.       nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b.      nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c.       jabatan atau jenis pekerjaan;
d.      tempat pekerjaan;
e.       besarnya upah dan cara pembayarannya;
f.       syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g.      mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h.      tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i.        tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Undang-Undang tidak tegas mengatur akibat dari perjanjian kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 54 ayat (1) di atas, namun demikian apabila besaran upah maupun mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja tidak diatur dalam perjanjian kerja Saudara, tentunya akan amat memberatkan untuk dapat membuktikan dan mempertahankan hak-hak Saudara sebagai pekerja/buruh jika di kemudian hari terjadi permasalahan dalam bidang hubungan industrial dengan Atasan Saudara.
Dalam perjanjian kerja, layaknya perjanjian pada umumnya, sahnya suatu perjanjian tidak ditentukan dari kehadiran Notaris, tapi oleh terpenuhinya ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata maupun Pasal 52 ayat (1) UU 13/2003 terpenuhi oleh pengusaha maupun pekerja/buruh.
Perlu kami sampaikan sekalipun Saudara bekerja di perusahaan perseorangan, namun tetap saja perusahaan tersebut wajib mentaati peraturan ketenagakerjaan yang berlaku, sesuai dengan ketentuan dalam Ketentuan Umum UU 13/2003 yang menegaskan bahwa:
Perusahaan adalah :
a.       setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b.      usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

1.2 Syarat Sahnya Perjanjian/Kontrak Menurut Pasal 1320 KUH Perdata
                        Syarat sahnya kontrak dapat dikaji berdasarkan hukum kontrak yang terdapat didalam KUH Perdata dan hukum kontrak yang ada di Amerika. Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Terdapat 4 syarat keabsahan kontrak yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yang merupakan syarat pada umumnya, sebagai berikut
  • Syarat sah yang subyekif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
                        Disebut dengan syarat subyektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian. Konsekuensi apabila tidak terpenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini adalah bahwa kontrak tersebut dapat “dapat dibatalkan” atau “dimintakan batal” oleh salah satu pihak yang berkepentingan. Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak dilakukan, maka kontrak tetap terjadi dan harus dilaksanakan seperti suatu kontrak yang sah.
            1. Adanya kesepakatan kehendak (Consensus, Agreement)
                        Dengan syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap saah oleh hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur oleh kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai berikut.
a)      Paksaan (dwang, duress)
b)      Penipuan (bedrog, fraud)
c)      Kesilapan (dwaling, mistake)
Sebagaimana pada pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
            2. Wenang / Kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)
                        Syarat wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Sebagaimana pada pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap. Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata, yaitu :
a)      Orang-orang yang belum dewasa
b)      Mereka yang berada dibawah pengampuan
c)      Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
  • Syarat sah yang objektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
                        Disebut dengan syarat objektif karena berkenaan dengan obyek perjanjian. Konsekuensi hukum apabila tidak terpenuhinya salah satu objektif akibatnya adalah kontrak yang dibuat batal demi hukum. Jadi sejak kontrak tersebut dibuat kontrak tersebut telah batal.
            3.  Obyek / Perihal tertentu
                        Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam pasal 1332 ddan1333 KUH Perdata.
Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa :
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”
Sedangkan pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa,
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan / dihitung”
            4.  Kausa yang diperbolehkan / halal / legal
                  Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum. Atau ada pula agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi beberapa persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4 persyaratan yuridis agar suatu kontrak dianggap sah, sebagai berikut:
1)      Syarat sah yang obyektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a.       Objek / Perihal tertentu
b.      Kausa yang diperbolehkan / dihalalkan / dilegalkan
2)      Syarat sah yang subjektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a.       Adanya kesepakatan dan kehendak
b.      Wenang berbuat
3)      Syarat sah yang umum di luar pasal 1320 KUH Perdata
a.       Kontrak harus dilakukan dengan I’tikad baik
b.      Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
c.       Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
d.      Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum
4)      Syarat sah yang khusus
a.       Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu
b.      Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu
c.       Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
d.      Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu


1.3 Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu
Sebagaimana menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), definisi perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans 100/2004”), pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.
PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib mendapatkan pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan, maka klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha dengan pekerja) adalah klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU Ketenagakerjaan.
PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Selama masa percobaan pengusaha wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku.
Menurut Pasal 15 Kepmenakertrans 100/2004, PKWT dapat berubah menjadi PKWTT, apabila:
1.      PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
2.      Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam jenis pekerjaan yang dipersyaratkan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
3.      Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan jangka waktu perpanjangan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan;
4.      Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut;
5.      Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam angka (1), angka (2), angka (3) dan angka (4), maka hak-hak pekerja dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan bagi PKWTT


1.4 Perselisihan Hubungan Industrial
      Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (UU PHI), dalam Pasal 1 angka 1 memberikan definisi perselisihan hubungan industrial sebagai berikut:
Perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan;
Berdasarkan definisi tersebut diketahui terdapat beberapa jenis perselisihan yang dapat dikategorikan sebagai suatu perselisihan hubungan industrial. Yang mana masing-masing dari perselisihan tersebut berdasarkan UU PHI memiliki tahapan penyelesaian yang berbeda.
Berikut kami sampaikan jenis-jenis perselisihan dalam hubungan industrial :
  1. Perselisihan Hak Merupakan perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama.
  2. Perselisihan Kepentingan Merupakan perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang diterapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
  3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Merupakan perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
  4. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Dalam Satu Perusahaan
    Merupakan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain namun terbatas hanya dalam satu perusahaan. Hal tersebut dapat disebabkan karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan pekerjaan.
            Pada saat terjadi suatu perselisihan hubungan industrial (berlaku untuk seluruh jenis perselisihan), langkah awal yang harus dilakukan yaitu dengan melakukan penyelesaian secara internal terlebih dahulu. Pertama melalui mekanisme musyawarah yang disebut dengan bipartit. Bipartit merupakan perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat pekerja / serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Dalam bipartit tersebut belum ada pihak ketiga yang dilibatkan. Adapun yang dimaksud pihak ketiga disini yaitu pihak pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan (Dinas Ketenagakerjaan dan Transmisgrasi). Sehingga pada tahap bipartit ini tidak menutup kemungkinan baik pihak perusahaan dan/atau karyawan untuk didampingi kuasa hukum. Yang mana bertujuan membantu negosiasi dan dapat juga sebagai fasilitator diantara para pihak yang berselisih.

UU PHI telah menentukan perundingan bipartit harus diselesaikan maksimal dalam waktu 30 hari kerja sejak perundingan dimulai. Apabila perundingan bipartit mencapai kesepakatan maka para pihak wajib membuat Perjanjian Bersama dan didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial. Namun apabila perundingan bipartit tersebut gagal mencapai kesepakatan, maka terdapat mekanisme penyelesaian lanjutan yang dapat dilakukan sebagaimana telah diatur dalam UU PHI.


PEMBAHASAN
Melalui kuasa hukumnya, Andrew Fritz Limahelu, belasan Pekerja dari PT. Indah Berkah Bersaudara yang merupakan badan usaha dibidang pengiriman dan logistik JNE Depok, berupaya untuk dapat melakukan musyawarah terkait dugaan adanya pelanggaran upah dan kontrak kerja yang diberlakukan oleh Perusahaan.
“Adanya ketidak-cocokan antara data yang dilaporkan pihak Perusahaan, dengan slip gaji yang diterima oleh rekan-rekan tenaga kerja,” jelas Fritz, Jum’at (16/11/2019). Ketidak sesuaian data dan slip gaji tersebut, timbul karena ketidak-jelasan perhitungan upah yang diberikan kepada Pekerja. Fritz menaksir besaran kerugian yang diderita Pekerja PT. Indah Berkah Bersaudara hingga mencapai Rp1,4 miliar.
“Bahwa kami ini sudah menyelesaikan masa percobaan selama tiga bulan. Artinya dalam undang-undang telah berbunyi ketika buruh atau karyawan yang telah melakukan masa percobaan selama tiga bulan, maka harus dijadikan karyawan tetap,” tegas Gibran yang juga sebagai Ketua Karang Taruna Baktijaya Kota Depok.
Sehingga menurutnya, Perusahaan seharusnya menetapkan karyawan tersebut menjadi pekerja tetap, bukan memperjanjikan pekerja yang telah melalui masa percobaan menjadi pekerja kontrak. Gibran menyebut, tindakan Perusahaan telah melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 100 Tahun 2004 dan Peraturan Daerah Kota Depok.
Ia juga menganggap, Perusahaan belum mempunyai iktikad baik dalam menyelesaikan kasus pengakhiran hubungan kerja beberapa Pekerja yang diantaranya merupakan Pengurus Karang Taruna Baktijaya Kota Depok itu. Fritz akan membawa permasalahan dugaan pelanggaran upah dan kontrak kerja melalui jalur hukum, apabila PT. Indah Berkah Bersaudara tak kunjung bersedia menyelesaikan permasalahan tersebut.


ANALISIS KASUS
Menurut saya, kasus dari PT. Indah Berkah Bersaudara ini telah melanggar perjanjian kerja menurut Pasal 1 angka 15 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa : “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.”. Dan karena didalam perjanjian tersebut mereka telah membuat kesepakatan kerja, PT. Indah Berkah Bersaudara juga telah melanggar perjanjian kerja berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”) menegaskan bahwa :
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
1.      kesepakatan kedua belah pihak;
2.      kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3.      adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
4.      pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Karena syarat sah kontrak dalam suatu perjanjian kerja Terdapat 4 persyaratan yuridis agar suatu kontrak dianggap sah, sebagai berikut:
1)      Syarat sah yang obyektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
c.       Objek / Perihal tertentu
d.      Kausa yang diperbolehkan / dihalalkan / dilegalkan
2)      Syarat sah yang subjektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
c.       Adanya kesepakatan dan kehendak
d.      Wenang berbuat
3)      Syarat sah yang umum di luar pasal 1320 KUH Perdata
e.       Kontrak harus dilakukan dengan I’tikad baik
f.       Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
g.      Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
h.      Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum
4)      Syarat sah yang khusus
e.       Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu
f.       Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu
g.      Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
h.      Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu
      Dalam kasus disebutkan bahwa, adanya ketidak-cocokan data dengan slip gaji yang diterima, perlakuan perusahaan terhadap karyawan tersebut juga tidak mematuhi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Karena pekerja memiliki hak untuk menerima upah dari Pengusaha atas suatu pekerjaannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya akan disebut UU Naker), yang menyatakan: ”Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan…”
      Lalu tidak menjadikan para karyawan yang sedang dalam masa percobaan menjadi karyawan tetap setelah lamanya bekerja selama 3 bulan berturut-turut. Hal tersebut juga termasuk melanggar Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Karena Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Pekerjanya sering disebut karyawan tetap.
Selain tertulis, PKWTT dapat juga dibuat secara lisan dan tidak wajib mendapat pengesahan dari intstansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan maka perusahaan wajib membuat surat pengangkatan kerja bagi karyawan yang bersangkutan. PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (probation) untuk paling lama 3 (tiga) bulan, bila ada yang mengatur lebih dari 3 bulan, maka demi hukum sejak bulan keempat, si pekerja sudah dinyatakan sebagai pekerja tetap (PKWTT). Selama masa percobaan, Perusahaan wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku.
      Selain itu, dari kasus mereka juga menyebutkan bahwa, pihak perusahaan belum mempunyai itikad baik atau belum maksimal dalam menyelesaikan kasus pengakhiran hubungan terhadap para karyawannya. Ini disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan dari:
1.      perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
2.      kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
3.      pengakhiran hubungan kerja;
4.      perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan.
Karena dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur tentang:
1.      penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi baik di perusahaan swasta maupun perusahaan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara;
2.      Pihak yang berperkara adalah pekerja/buruh secara perseorangan maupun organisasi serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha;
3.      Setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat oleh para pihak yang berselisih (bipartit);
4.      Dalam hal perundingan oleh para pihak yang berselisih (bipartit) gagal, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat;
5.      Perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat diselesaikan melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak;
6.      Perselisihan hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau arbitrase namun sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui mediasi;
7.      Dalam hal mediasi atau konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial;
8.      Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrase dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung; dan

9.      Pengadilan Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan umum dan dibentuk pada Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada Mahkamah Agung.





REFERENSI :
https://spn.or.id/definisi-kontrak-kerja/